Analisis Kredit Macet nasabah pada Bank Danamon
Ø Landasan teori
Kredit secara bahasa Romawi, yaitu
dari kosakata credere yang berarti percaya. Dengan demikian, dasar
pengertian dari istilah atau kosakata kredit, yaitu kepercayaan sehingga
hubungan yang terjalin dalam perkreditan di antara para pihak, sepenuhnya harus
di dasari oleh adanya saling mempercayai, yaitu bahwa kreditur yang memberikan
kredit percaya bahwa penerima kredit (debitur)akan sanggup memenuhi segala
sesuatu yang telah diperjanjikan, baik menyangkut jangka waktunya maupun
prestasi dan kontraprestasinya.[1]
Dalam Undang- Undang yang berlaku, istilah
kredit merupakan sebutan bagi Bank konvensional, sedangkan pada Bank syariah
disebut sebagai Pembiayaan. Sedangkan pengertian kredit sendiri, yang tercantum
dalam pasal 1 ayat (2) Undang- Undang perbankan tahun 1998 atas perubahan
Undang- Undang perbankan tahun 1992,
“kredit adalah penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan oihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”
ü Yang dimaksud dengan tagihan atau yang dipersamakan dengan itu,
adalah segala sesuatu yang dinilai bisa dinilai dengan uang dan dapat dijadikan
sebagai objek kredit.
ü Waktu tertentu : disebutkan berapa lama uang tersebut dapat
digunakan oleh nasabah.
Sedangkan pada pasal 1 ayat (12), dijelaskan tentang pembiayaan,
yaitu:
“Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau
tagihan yang diprsamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan atau bagi hasil.”
ü Dalam undang- undang ini tidak disebutkan pinjam meminjam dalam
kesepakatannya.
ü Selain itu pengembalian bukan berupa bunga tetapi berupa penyertaan
imbalan atau bagi hasil
Ø Prinsip- prinsip pembiayaan ada 5, atau sering disebut dengan 5C,
yaitu:
1.
Character:
watak, kepribadian calon debitur.
2.
Capasity:
kemampuan manajerial atau pengeloaan usaha.
3.
Capital:
modal awal yang dimiliki.
4.
Collateral:
adanya jaminan atau agunan.
5.
Condition
of economy: keadaan ekonomi calon debitur.
Selain hal- hal tersebut, dalam memberikan kredit oleh bank kepada
perusahaan yang merupakan kelompok usaha sendiri, kepada pemegang saham dan
kepada pengurus bank yang bersangkutan, harus dihindarkan atau sekurang- kurangnya
sangat dibatasi. Begitu juga pemberian kredit yang terlalu berlebihan kepada
nasabah- nasabah tertentu akan dapat menempatka bank pada keadaan berisiko
tinggi. Untuk itu perlu adanya ketentuan tentang penentuan batas maksimum
pemberian kredit (legal lending limit) yang harus dipatuhi oleh setiap
bank.[2]
Karena pemberian kredit pada nasabah ini mengandung resiko
kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya yang nantinya bisa berpengaruh pada
kesehaatan bank, maka untuk memelihara
kesehatan dan meningkatkan daya tahannya bank diwajibkan mengatur penyaluran
kredit, pemberian jaminan atau fasilitass lain sehingga tidak berpusat pada
peminjam atau kelompok peminjam tertentu.
Kaitannya dengan resiko- resiko tersebut, maka bank dilarang
memberikan penyaluran dana yang mengakibatkan pelanggaran batas maksimum
pemberian kredit (BMPK). Mengenai BMPK ini diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia No 8/13/PBI/2006 atas perubahan No 7/3/PBI/2005 tentang BMPK.
Bank dinyatakan melakukan pelanggaran larangan terhadap ketentuan
BMPK apabila pada saat pemberiannya saldo kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah tersebut melampaui batas maksimum yang telah ditetapkan oleh
Bank Indonesia dalam Undang- Undang mengenai BMPK tersebut.
Ø Studi kasus
Kasus kredit macet yang dilakukan oleh salah satu nasabah Bank
Danamon unit cabang kalangbret, tulungagung, jawa timur. Nasabah atas nama
Titin setyani yang beralamatkan di desa Tambaksari, tulungagung. Nasabah ini
mengajukan kredit pada bank danamon sebesar 15 juta tanpa jaminan dengan angsuran
Rp 880.000/bulan dalam jangka waktu 24 bulan atau 2 tahun.
Pinjaman ini digunakan untuk modal usaha pengembangan usaha
konveksinya. Pada angsuran pertama sampai angsuran ke 8 lancar dan dapat
dipenuhi, tetapi pada angsuran berikutnya usahanya mengalami kebangkrutan
dengan alasan banyak pelanggan yang berhutang padanya dan tidak membayar
hutangnya pada bu Tintin ini. Disini ada kesalahan dalam pengaturan menajemen
keuangan dalam usaha yang dilakukan oleh bu Titin ini.
Dikarenakan nasabah ini yang pada akhirnya menunggak ansuran
setelahnya, pada bulan ke 4 tunggakan, dari pihak Bank mendatangi nasabah
tersebut dan mencoba mencari jalan keluar yang bisa di tempuh kedua pihak.
Dari pihak Bank menawarkan pembayaran kekurangan tunggakan tersebut
dengan cara memperpanjang tenggang waktu pembaaran dengan pengurangan nominal
angsuran yang harus di bayar setiap bulannya, yakni sebesar Rp 650.000/ bulan hingga kurangan tunggakan
tersebut terpenuhi.
Tetapi kenyataannya karena si nasabah tersebut terbelit hutang
dimana- mana, sehingga angsuran tersebut tidak terpenuhi juga dan hingga
akhirnya nasabah ini pergi keluar kota dengan alasan kerja di loar kota guna
membayar hutang- hutang nya.
Yang disayangkan dari pihak bank tersebut tidak meminta jaminan
ketika memberikan kredit pada si nasabah ini. Sehingga, tidak ada barang
digunakan oleh pihak bank untuk pelunasan dari kredit yang diberikan pada
nasabah.
Ø Analisis kasus
Dari kasus diatas dapat dikatakan sebagai kredit macet, karena
menurut pendapat Gatot Suparmono, SH (1997 :
131), Kredit macet adalah suatu keadaan dimana seorang nasabah tidak
mampu membayar lunas kredit bank tepat pada waktunya.[3]
Keadaan di atas dalam hukum perdata disebut ingkar janji atau
wanprestasi. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa :
a.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b.
Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
c.
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
Jika dihubungkan dengan kredit macet ada 3 poin yang
berkenaan dengan wanprestasi di atas:
a.
Debitur sama sekali tidak bisa membayar angsuran kredit.
b.
Debitur membayar sebagian saja angsuran kredit.
c.
Debitur membayar lunas setelah jangka waktu diperjanjikan berakhir (terlambat).
Jadi pada intinya kredit macet merupakan kredit
bermasalah dimana karena suatu hal seorang debitur mengingkari janji
mereka membayar kredit yang telah jatuh tempo sehingga terjadi keterlambatan
atau sama sekali tidak ada pembayaran maka timbulah apa yang disebut kredit
macet.
Dari kasus diatas dapat diketahui dalam proses pekreditan tersebut
terjadi kealpaan dalam hal penyertaan jaminan. Sehingga menimbulkan celah
besar, sehingga terjadi kredit macet dalam pelaksanaannya.
Dengan tidak adanya jaminan dalam pekreditan ini,membuat beberapa
unsur fungsi dari adanya jaminan iu sendiri hilang an yang akhirnya menimbulkan
terjadinya kredit macet tersebut, unsur yang hilang dari fungsi jaminan kredit
diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Tidak
adanya hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari agunan
apabila debitur melakukan cedera janji, yaitu untuk membayar kembali utangnya
pada waktu yang telah diperjanjikan sebelumnya.
b.
Semakin
besarnya kemungkinan nasabah untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan
merugikan diri sendiri atau perusahaannya.
c.
Tidak
adanya dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya khususnya mengenai pembayaran
kembali sesuai dengan syarat- syarat yang telah disetujui agar debitur dan/atau
pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan
kepada bank.
Sebab- sebab inilah yang pada akhirnya dijadikan peluan untuk
nasabah tidak memenuhi tanggungannya. Selain mungkin diawal tiak ada maksud
dari nasabah untuk melakukan tindakan lari dari tangggungan, tetapi karena
adanya peluang semacam inilah yang merugikan pihak bank sendiri.
Dalam pemberian kredit, suatu bank pada hakikatnya harus menganut
asas “mengambil resiko sekecil mungkin”. Risiko yang dimaksud adalah risiko
terhadap kemungkinan nasabah tidak melunasi tanggungannya terhadap kreditur
atau pihak bank itu sendiri.
Kaitannya dengan mengambil resiko sekecil mungkin dalam hal
pemberian kredit tersebut sudah termaktub sebelumnya dalam keputusan Bank
Indonesia dalam surat Direksi Bank Indonesia Nomor 27/127/KEP/DIR tanggal 31
Maret 1995 tentang kewajiban penyusunan dan Pelaksanaan Perkreditan Bank bagi
bank umum, yang kemudian disebarluaskan melalui Surat Edaran Bnak Indonesia
Nomor 27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 perihal Kewajiban Penyusunan dan
Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank Umum. Dalam ketentuan ini disebutkan
setiap Bank Umum harus dan wajib memiliki Kebijakan Perkreditan Bank (KPB)
secara tertulis dan disetujui oleh dewan komisaris bank, yang minimal harus
mencakup beberapa aspek yang telah ditentukan dalam Pedoman Penyusunan
Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB). Yang meliputi:
a)
Prinsip
kehati- hatian dalam perkreditan
b)
Organisasi
dan manajemen perkreditan
c)
Kebijakan
persetujuan kredit
d)
Dokumentasi
dan administrasi kredit
e)
Pengawasan
kredit
f)
Penyelesaian
kredit bermasalah
Aspek yang hilang dari kasus diatas adalah kurangnya penerapan
aspek prinsip kehati- hatian dalam pemberian kredit pada nasabah. Tidak adanya
agunan atau jaminan yang disyaratkan dalam pengajuan kredit inilah yang menjadi
titik lemah dari bank dalam memberikan perkreditan. Ini adalah salah satu
indikasi kuangnya penerapan prinsip kehati- hatian. Padahal jika ditelisik dari
aspek prinsip kehati- hatian ini merupakan aspek dasar yang harus terpenuhi
oleh bank guna meminimalisir segala bentuk kemungkinan yang akan merugikan
pihak bank yang ada dalam pemberian kredit.
Dalam pemenuhan dan penerapan KPB inilah yang kurang dioptimalkan
oleh pihak bank dalam kasus ini. Atau mungkin saja ada aturannya namun dalam
penerapannya yang kurang optimal, sehingga menimbulkan resiko kredit macet oleh
nasabah sebagai Debitur.
Adapun tujuan dari KPB ini adalah mengoptimalkan pendapatan dan
menngendalikan risiko bank dengan cara menerapkan asas- asas perkreditan yang
sehat. Selain itu, dengan penerapan dan pelaksanaan KPB secara konsekuen dan
konsisten, diharapkan bank dapat terhindar dari kemungkinan penyalahgunaan
wewenang oleh pihak- pihak yyang tidak bertanggung jawab dalam pemberian kredit.[4]
Sedangkan kaitannya dengan analisis kasus tersebut dengan Undang-
Undang No 8/13/PBI/2006 atas perubahan Undang- Undang No 7/3/PBI/2005 tentang
batas maksimum pemberian kredit, kasus kredit macet yang saya contohkan diatas
belumlah dikatakan sebagai pelanggaran larangan terhadap ketentuan BMPK
tersebut. karena pada dasarnya kredit yang diberikan pada debitur tersebut
tidak melampaui dari batasan yang telah dicantumkan pada undang- undang
tersebut, hanya saja pada kasus kredit macet tersebut lebih mengarah pada
kurang optimalnya penerapan syarat yang harus dipenuhi debitur pada bank yakni
berupa adanya jaminan. Sehingga kekurangan ini yang menjadi celah yang besar
sehingga terjadi kredit macet oleh debitur.
[1]
Muhammad Djumhana,
Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012). Hal.411.
[2]
Djoni S. Gozali
dan Rachman Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal.291-292.
[3]
http://kafeilmu.com/pengertian-kredit-macet/
(diakses pada tanggal 17 Mei 2016 pukul 22.08 WIB)
[4]
Djoni S. Gozali
dan Rachman Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012),
hal.301.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar