A.
Paradigma
Perubahan Sosial Dan Perubahan Hukum
Perubahan sosial dan sektor hukum merupakan dua hal yang saling
terkait dan tidak dapat dipisahkan. Kedua hal tersebut saling mempengaruhi satu
dengan yang lainnya. Interaksi perubahan sosial di satu sisi dan perubahan
hukum di sisi lain. Interaksi tersebut membawa konsekuensi ilmiah karena akan
dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Untuk menganalisa dampak yang
ditimbulkan sekurang- kurangnya terdapat dua paradigma atau cara pandang secara
ilmiah.[1]
Adapun paradigma yang berkembang dalam
memberikan format atas hubungan interaksi perubahan sosial dan perubahan hukum
adalah:
1.
Hukum
melayani kebutuhan masyarakat, agar supaya hukum itu tidak akan menjadi
ketinggalan oleh karena lajunya perkembangan masyarakat.
Dimana apabila
pada masyatakat dulu sesuatu yang dianggap buruk yang merupakan hal yang
ditolak, kemudian karena ada perubahan nilai dalam masyarakat tersebut yang
kemudian hal tersebut dianggap hal yang biasa dan merubah perilaku dalam
masyarakat dan menimbulan tuntutan legalitas terhadap perubahan tersebut.
Ciri- ciri dari
paradigma ini adalah:
a.
Perubahan yang cenderung diikuti oleh
sistem lain karena dalam kondisi ketergantungan.
b.
Ketertinggalan hukum di belakang perubahan
sosial.
c.
Penyesuaian yang cepat dari hukum kepada
keadaan baru.
d.
Hukum sebagai fungsi pengabdian.
e.
Hukum berkembang mengikuti kejadian berarti
di tempatnya adalah di belakang peristiwa bukan mendahuluinya.
Paradigma peitama ini kita sebut sebagai Paradigma
Hukum Penyesuai Kebutuhan. Makna yang terkandung dalam hal ini adalah bahwa
hukum akan bergerak cepat untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat. Kebutuhan akan peraturan perundang-undangan yang baru
misalnya adalah yang nampak jelas dalam paradigma ini. Kita tidak bisa
menghindari bahwa kebutuhan masyarakat akan suatu pengaturan sedemikian besar
tidak disertai oleh pendampingan hukum yang maksimal.
Lajunya perubahan sosial yang membawa
dampak pada perubahan hukum tidak serta merta diikuti dengan kebutuhan secara
langsung berupa peraturan perundang-undangan. Persoalan ini sudah masuk dalam
ranah mekanisme dalam lembaga perwakilan rakyat.Tetapi kebutuhan masyarakat
agar hukum mampu mengikuti sedemikian besar agar jaminan keadilan, kepastian
hukum dapat terus terpelihara.
Sebagai contoh dalam paradigma ini adalah
kejahatan teknologi canggih seperti komputer, internet (cyber crime),
pengaturan pernikahan beda agama, cloning, perbankan syari'ah, santet
dan sejenisnya, pornografi, terorisme, status hukum waria, legalitas pernikahan
lesbian dan homo, bayi tabung, euthanasia.
Sedemikian banyak sesungguhnya yang terjadi dalam masyarakat yang
perlu dibungkus dengan baju hukum tetapi tidak semua diatur oleh hukum. Ini ibarat fenomena gunung es, yang secara realitas
hal-hal tersebut adalah permukaan saja yang senyatanya lebih banyak
dari contoh di atas.
Hal-hal yang diatur oleh hukum di kemudian
hari sudah merupakan pilihan kebijakan publik dari pemerintah dengan beberapa
pertimbangan. Kalaupun misalnya persoalan-persoalan di atas masuk dalam perkara
di pengadilan maka yang dijadikan dasar adalah aturan yang bersifat umum, masih
mencari-mencari peraturan bahkan sudah kadaluwarsa, tidak spesifik pada kasus
tersebut.
Paradima pertama ini dalam interaksi perubahan
sosial terhadap perubahan hukum paling banyak terjadi. Hal ini membuktikan
bahwa hukum mempunyai peranan apabila masyarakat membutuhkan pengaturannya.
Jadi sifatnya menunggu. Setelah suatu peristiwa menimbulkan sengketa, konflik,
bahkan korban yang berjatuhan maka kemudian dipikirkan, apakah diperlukan
pengaturannya secara formal dalam peraturan perundang-undangan. Kondisi ini menampilkan posisi hukum sangat
tergantung sebagai variabel yang dependent terhadap perubahan sosial
yang terjadi.
2.
Hukum dapat menciptakan perubahan sosial dalam
masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu perubah n-perubahan yang
berlangsung dalam masyarakat.[2]
Ciri- ciri dari
paradigma ini adalah:
a.
Hukum
merupakan alat merekayasa masyarakat.
b.
Hukum
merupakan alat merubah masyarakat secara lagsung.
c.
Hukum
berorientasi masa depan.
Esensi dari paradigma ini adalah penciptaan
hukum digunakan untuk menghadapi persoalan hukum yang akan datang atau
diperkirakan akan muncul. Paradigma kedua ini disebut sebagai Paradigma
Hukum Antisipasi Masa Depan[3].
Persoalan hukum yang akan datang dihadapi dengan merencanakan atau
mempersiapkan secara matang, misalnya dari segi perangkat perundang-undangan.
Hal ini banyak kita jumpai perundang-undangan yang telah
diratifikasi di bidang hukum internasional misalnya peraturan
perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
Berkaitan dengan paradigma ini, terdapat
juga peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk mengantisipasi perubahan
sosial tetapi menghadapi polemik yang kontroversial dalam masyarakat.
Kedua paradigma di atas pada akhirnya akan berujung pada keinginan untuk
membuat produk hukum berupa peraturan perundang-undangan.
B.
Interaksi
Perubahan Hukum dan Perubahan Masyarakat
Dalam hal ini
adanya perubahan hukum pastilah akan merubah nilai- nilai yang ada dalam
masyarakat itu sendiri. Tetapi, perubahan hukum yang bersangkuan dalam
kenyataannya tidak sama persis dengan yang diinginkan masyarakat atau kelompok
masyarakat yang mempelopori perubahan hukum tersebut. Berbagai kemungkinan yang
terjadi antara lain[4]:
a.
Hukum
benar- benar berubah seperti kainginan masyarakat (full compliance)
b.
Hukum
mempertajam persepsi perubahan dalam masyarakat
c.
Hukum
hanya melakukan ratifikasi atau pengesahan atas sesuatu yang benar- benar telah
berubah dalam masyarakat
d.
Hukum
berubah tetapi tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat, karena
adanya keengganan dari pihak yang berwenang merubah hukum untuk menyerap
aspirasi masyarakat, munculnya pendapat yang lebih kuat dari pendapat
masyarakat secara umum dalam forum perubahan hukum
ANALISA:
Kaitannya terhadap perubahan UU Pilkada no 1 tahun 2014 ke UU
Pilkada no 8 tahun 2015 adalah:
Setelah
diundangkannya Undang- Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang perubahan atas Undang-
Undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU
Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Guberbur, bupati, walikota menjadi Undang-
Undang beberapa waktu lalu, hampir semua partai politik pada umumnya dan para
bakal calon kepala daerah sudah berancang- ancang.
Maksud pemerintah mengubah UU Pilkada tersebut pastinya adalah
untuk menyejahterakan dan demi perkembangan masyarakat itu sendiri. wakil
komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria berpendapat bahwa dalam UU Pilkada yang
disahkan pada Februari tanggal 17 tersebut diyakini akan mampu meminimalisasi
politik uang atau money politics, dan semacamnya dalam pencalonan seseorang
sebagai kepala daerah.[5]
Oleh karena itu, jika seseorang terbukti melakukan politik uang,
maka yang bersangkutan langsung dipidana dan pencalonannya otomatis gugur, dan
parpol pengusungpun untuk kali berikutnya tidak boleh mencalonkan. Terkait hal
tersebut, dari anggota DPR RI ada yang mengusulkan agar komisi pemilihan Umum
(KPU) membuat aturan atau surat edaran KPU agar parpol yang terbukti melakukan
politik uang bisa langsung didiskualifikasi. Apalagi mengingat mulai desember
2015 nanti sudah ada 272 Pilkada.
Dikatakan dalam UU tersebut sebenarnya tidak terlalu banyak
perubahan dari UU sebelumnya, dalam UU baru ini hanya memotong politik dinasti
dan kekerabatan. Dikatakan yang terpenting dalam pelaksanaan pemilu serentak
tersebut adalah parpol, penyelenggara pemilu, penegak hukum, dan masyarakat
sendiri.
Pada pemilu 2014 lalu saja terdapat 900-an kasus penyimpangan
pileg. Sebisa mungkin UU Pilkada itu tidak selalu coba- coba, apalagi kita
sudah melakukan 1080 kali pikada. Yang terpenting dalam pemilu adalah Bawaslu
dan Panwaslu, agar menghasilkan pemilu yang demokratis, bermartabat, jujur, dan
berkualitas.
Pilkada langsung maupun oleh DPRD, sebenarnya sama- sama mamiliki
kelebihan dan kekurangan. Tetapi, khusus politik dinasti dan money politics
dalam UU pilkada ini sebagai langkah maju. Sebab, kerabat dekat kepala daerah
(incumbent/ petahana) tidak boleh maju lagi untuk berikutnya. Ini jelas
tertulis dalam UU no 8 tahun 2015 pasal 7 huruf r atas UU no 1 tahun 2015
tentang penetapan perpu no 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati,
walikota (uu pilkada) terkait syarat yang melarang bakal calon kepala daerah
memiliki hubungan darah/ perkawinan dengan petahana. Penjelasan pasal 7 huruf r
menyebutkan, yang dimaksud dengan tidak mamiliki konflik kepentingna petahana
adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/ atau garis keturunan
1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengna petahana yaitu
ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah
melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
Aturan tersebut tentunya mengundang pro dan kontra dalam penerapannya.
Dilihat dari kembali dipersoalkannya UU ini ke Mahkamah Konstitusi (MK), salah
satunya oleh Lanosin, adik kandung Bupati Petahana Ogan Konering Ulu Timur,
Sumatera Selatan. Menurutnya pasal tersebut menghalangi hak konstitusional
pemohon untuk mencalonkan diri dalam pilkada di Sumatera Selatan. Selain itu
menurut pemohon, ketentuan yang menetapkan syarat calon kepala daerah tidak
memiliki konflik kepentingan dengan petahana bersifat diskriminasi dan
menimbulkan ketidak pastian hukum yang adil. Seharusnya, frasa yang benar
terkait dengna norma tersebut adalah “Petahana tidak boleh memiliki konflik
kepentingan dengan salah satu calon”, bukan sebaliknya seperti termuat dalam pasal
tersebut. Pembatasan pencalonan atas dasar faktor kelahiran/ darah/ perkawinan
secara nyata telah melanggar prinsip civil liberties yang dilindungi
hukum internasional. Hal ini tertuang dalam International Covenant on Civil
and Political Right (ICCPR) 1966 yang telah diratifikasi melalui UU No 12
Tahun 2005 yang melarangg perlakuan diskriminasi salah satunya didasarkan oleh
kelahiran.[6]
Tetapi jika dilihat dari masyarakat pada umumnya, tujuan pemerintah
mengadakan aturan ini ada benarnya. Dimana kekuasaan politik jika menurut pada
politik dinasti maka kekuasaan hanya akan dikuasai oleh sekelompok orang yang
masih terkait dalam hubungan keluarga. Politik dinasti ini lebih identik dengan
kerajaan sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada
anak atau kerabat dekatnya sesuai tatacara yang diatur dalam kerajaan tersebut
agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga.
Berbagai persyaratan tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan calon
pemimpin daerah yang memiliki kemampuan serta menguasai ilmu dan seni memimpin,
terutama bagaimana menyusun pola kegiatan yang efektif, menerapkan pola
kekuasaan yang tepat dari sisi waktu dan tindakan serta lingkungan, memiliki
pola kepemimpinanyang dapat menggerakan bawahan dan masyarakat sehingga
mencapai tujuan organisasi dan peningkatan kehidupan masyarakat.
Kemudian pasal yang berhubungan dengan politik uang, juga
mengandung pro dan kontra dalam penerapannya. Bahwa apabila diperhatikan secara
seksama sanksi pidana sebagaimana diatur di dalam pasal 177 sampai dengan pasal
198 UU no 1 tahun 2015, tidak ditemukan satu pasal pun yang mengatur sanksi
jual beli dukungan partai politik. Sedangkan pada pasal 47 UU Noo 8 Tahun 2015
hanya menambahkan redaksi “Wakil Gubernur”, “Wakil Bupati”, dan “Wakil
Walikota” serat tidak ada perbaikan berupa menambah sanksi pidana terhadap
pasal 47 tersebut.
Pasal 47 ayat (5) mensyaratkan adanya Putusan Pengadilan yang
bersangkutan hukum tetap sebelum membatalkan pasangan calon terpilih yang
terbukti melakukan jual beli dukungan Partai Politik. Namun pada faktanya tidak
ada material sanksi pidana yang dapat digunakan oleh Pengadilan untuk
menjatuhkan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sehingga sanksi
pembatalan calon terpilih pun tidak dapat dilakukan.
Dalam hal ini, hukum sebagai pelayan kebutuhan masyarakat pun masih
sangat jauh dari apa yang di wacanakan. Karena politik uang dalam pelaksanaan
pikada ataupun dalam ranah perpolitikan apapun, telah mendarah daging dalam
pelaksanaannya. Dan juga didukung tidak adanya kepastian hukum tentang
pelaksanaan politi8k uang dalam pilkada sesuai keterangan di atas tadi.
Selain itu, hukum atau aturan yang telah di buat oleh pemerintah
dalam hal politik uang ini tidak begitu berarti dalam perubahan dalam
masyarakat sendiri. jadi, yang dapat kita simpulkan dalam hal interaksi hukum
dengan perubahan masyarakat adalah hukum berubah tetapi tidak seperti yang
diinginkan oleh masyarakat, karena adanya ketiak singkronan antara aturan yang
dibuat dengan realita keadaan itu sendiri.
Kemudian yang perlu kita analisis adalah tentang pengujian Pasal 51
ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 121 ayat(1), dan Pasal 122 ayat (1) UU
Pilkada terkait aturan syarat minimal pelaksanaan pilkada harus diikuti dua
pasangan calon kepala daerah atau mensiratkan adanya larangan pasangan calon
tunggal.
Dalam pengujian Pasal- pasal ini dikarenakan banyak daerah yang
hanya memiliki satu calon atau calon tunggal saja. Pertimbangannya dari pada
terjadi kekosongan kekuasaan, maka kasus tersebut diajukan ke Mahkamah
Konstitusi (MK) guna pengujian Undang- Undang agar hal tersebut jangan sampaai
terjadi. Hal ini utamanya mempertimbangkan kepentingan rakyat agar hak pilihnya
tetap bisa terjamin.
Kemudian pada tanggal 29 september 2015, MK menyatakan mengabulkan
permohonan uji materi terkait calon tunggal untuk tetap bisa melaksanakan
pilkada serentak pada Desember 2015 mendatang. Hakim MK menilai, Undang- Undang
telah mengamanatkan pilkada sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih
kepala daerah secara langsung dan demokratis. Pertimbangannya adalah perumusan
norma UU Nomor 8 tahun 2015 yang mengharuskan adanya lebih dari satu pasangan calon
tidak memberikan solusi yang menyebabkan kekosongan hukum. Dan hal itu
berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya pilkada. Dan syarat mengenai
jumlah pasangan calon itu akan berpotensi mengancam kedaulatan dan hak rakyat
untuk memilih.
Dalam hal ini tujuan pemerintah adalah menjaga kedaulatan dan hak
rakyat untuk memilih calon kepala daerahnya. Dan ini merupakan cerminan bahwa
hukum atau aturan dalam hal ini berfungsi sebagai pelayan kebutuhan masyarakat.
Walaupun pada hakikatnya mulanya aturan dalam UU Pilkada mengharuskan lebih
dari satu calon kepala daerah, tetapi aturan tersebut dapat di uji kembali
dalam MK demi mengutamakan kepentingan rakyat itu sendiri. dalam pengaruhnya,
hukum terhadap masyarakat adalah hukum berubah sesuai apa yang diinginkan
masyarakat dalam mempertahankan kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih.
DAFTAR PUSTAKA
·
Ni’mah, Zulfatun, Sosiologi Hukum
Sebuah Pengantar, cet-1, (Yogyakarta: Teras, 2012)