Kamis, 02 Juni 2016

Filosofi Haji



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Haji merupakan salah satu ibadah yyang amat mulia. Haji sendiri merupakan rukun Iman yang ke 5, yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT. Keutamaan haji banyak disebutkan dalam Al Qur’an dan Hadis. Perintah rukun Islam yang kelima itu wajib bagi yang mampu menjalankannya. Dalam melaksanakan ibadah haji sendiri, terdapat rukun dan syarat tertentu yang tentunya sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Allah SWT dan seperti yang telah dicontohkan oleh Rosulullah SAW dalam hadist beliau mengenai cara dan rukun dalam mengerjakan ibadah haji.
Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan bagi kaum muslim yang mampu secara material, fisik, maupun keilmuan dengan berkunjung ke beberapa tempat di Arab Saudi dan melaksanakan beberapa kegiatan pada satu waktu yang telah ditentukan yaitu pada bulan Dzulhijjah. Berdasarkan uraian tersebut, penulis selanjutnya membahasa mengenai hikmah ibadah haji.

B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian, rukun dan syarat sah haji?
2.    Apa saja aspek- aspek haji?
3.    Apa saja hikmah ibadah haji?

C.  Tujuan Pembahasan
Dari rumusan masaah yang ada, dapat diambil tujuan masalah dari pebahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui pengertian, rukun dan syarat sah haji.
2.    Untuk mengetahui aspek- aspek haji.
3.    Untuk mengetahui hikmah ibadah haji.


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian, Rukun dan Syarat Sah Haji
Haji secara bahasa (etimologis) berasal dari bahasa Arab al-hajj (اَلْحَجُّ), berarti tujuan, maksud, dan menyengaja untuk perbuatan yang besar dan agung. Selain itu, al-hajj (اَلْحَجُّ)  berarti mengunjungi atau mendatangi. Sedangkan secara istilah (terminologis) adalah perjalanan mengunjungi Baitullah untuk melaksanakan serangkaian ibadah pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.[1]
Sayyid Sabiq, ahli fikih kontemporer Mesir (lahir 1915 M), mendefinisikan haji, yakni: “Dengan sengaja pergi ke Mekah untuk melaksanakan tawaf, Sa’i, wukuf di Arafah, dan rangkaian manasik haji lainnya, dalam rangka memenuhi panggilan (kewajiban dari) Allah dan mengharapkan keridhaan Allah”.[2]
Bepergian untuk tujuan beribadah telah dikenal oleh umat- umat terdahulu khususnya dunia Timur yang kesemuanya bertujuan penyucian jasmani dan rohani dan karena itu ia selalu didahului dengan mandi.
Namun demikian hakikat dari ibadah haji dalam Islam berbeda dengan bentuk- bentuk haji yang dikenal itu, perbedaan antara mengunjungi satu tempat untuk memperoleh berkat dari menghadiri upacara- upacara keagamaan dipimpin oleh pemuka- pemuka agama serta menyembelih kurban- kurban untuk dianugrahkan kepada mereka, dengan haji yang disyariatkan Islam dimana keterlibatan pemuka- pemuka agama tidak dibutuhkan dan kurban- kurban yang disembelih dijadikan untuk kepentingan umum khususnya untuk mereka yang membutuhkan.
Memahami falsafah haji di dalam Islam, membutuhkan pemahaman terhadap sejarah Nabi Ibrahim AS, karena praktek- praktek ritual ibadah haji terkait erat dengan Nabi Ibrahim AS dan keluarga beliau serta tempat- tempat penting yang beliau alami beserta keluarga.
Ibrahim AS dalah bapak dari agama- agama yahudi, Nasrani dan Islam, beliau telah berhasil membuka lembaran baru dalam pandangan manusia tentang Tuhan, alam dan dirinya sendiri dan karena beliau memiliki sekian banyak keistimewaan khususnya dalam keyakinan tauhid dan hari kebangkitan.[3]
Nabi Ibrahim AS juga digelari sebagai Abu Al- Anbiya’ (Bapak para Nabi) dan wajarlah apabila beliau dijadikan sebagai teladan untuk seluruh manusia. Seperti yang dinyatakan oleh Allah SWT dalam wahyu- Nya (Q.S 2: 127).
Keteladanan tersebut antara lain diwujudkan dalam bentuk ibadah haji dengan berkunjung ke Makkah, karena beliaulah bersama putranya Ismail AS yang membangun (kembali) fondasi- fondasi Ka’bah, dan beliau pulalah yang diperintahkan untuk mengumandangkan syariat haji. Seperti dalam ayat Qur’an sebagai berikut:
bÏiŒr&ur Îû Ĩ$¨Y9$# Ædkptø:$$Î/ šqè?ù'tƒ Zw%y`Í 4n?tãur Èe@à2 9ÏB$|Ê šúüÏ?ù'tƒ `ÏB Èe@ä. ?dksù 9,ŠÏJtã ÇËÐÈ  
Artinya:
 dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al- hajj:27)

Keteladanan yang diwujudkan dalam bentuk ibadah tesebut dan yang praktek- praktek ritualnya berkaitan dengan peristiwa- peristiwa yang dialami oleh Ibrahim dan keluarganya, pada hakikatnya merupakan penegasan tentang keterkaitan seorang haji dengan prinsip- prinsip keyakinan yang dianut oleh Nabi Ibrahim AS yang intinya adalah:
a.    Pengakuan tauhid dan penolakan terhadap segala bentuk kemusyrikan baik beupa patung- patung, bintang, bulan, matahari, ataupun sesuatu selain Allah SWT.
b.    Keyakinan tentang ada tidaknya hari pembalasan yang akan dialami oleh setiap orang setelah kematiannya,

Dalam kedua inti ajaran inilah berkisar falsafah haji dan kepada keduanya lah dilambangkan setiap aktivitas ritualnya.
“haji merupakan kumpulan yang sangat indah dari lambang lambang kerohanian yang mengantarkan -apabila dilaksanakan dalam bentuk/caranya yang benar- seorang muslim untuk masuk dalam lingkungan Illahi.[4]
Ø  RUKUN dan SYARAT HAJI
Ulama mazhab Syafi’i menetapkan rukun haji sebanyak enam macam, yaitu Ihram, Tawaf, Sa’i, Memotong minimal tiga helai rambut, dan tertib, yaitu mendahulukan wukuf dari tawaf ifadah dan potong rambut, dan mendahulukan tawaf atas Sa’i.
Adapun syarat sah haji seperti yang dikemukakan Abdurrahman al-Jaziri, yaitu:
1.    Beragama Islam
Ibadah haji menjadi sah bila dilaksanakan orang Islam, baik haji itu dilaksanakan oleh dirinya sendiri atau orang lain. Oleh sebab itu, ibadah haji tidak sah jika dilaksanakan oleh orang kafir atau murtad.
2.    Mumayyiz
          Mumayyiz adalah seorang anak yang sudah dapat membedakan antara sesuatu yang baik dan bermanfaat dengan sesuatu yang tidak baik dan mendatangkan mudharat.
3.    Waktu yang telah ditentukan
Amalan ibadah haji harus dilakukan pada waktu yang telah ditentukan. Waktu pelaksanaan ibadah haji adalah bulan Syawal, Zulqaidah, dan Sembilan hari pertama bulan Zulhijjah sampai terbit fajar hari kesepuluh atau yang disebut juga Yaum an-Nasr, serta hari Tasyrik. Jika amalan dilakukan di luar waktu ini, maka hajinya tidak sah.        [5]

B.  Aspek- Aspek Haji
1.    Aspek Sosial
Berkumpulnya umat Islam dari seluruh penjuru dunia, dengan berbagai ras, bangsa dan bahasa, merupakan satu momentum untuk mempererat tali persaudaraan, serta untuk bermusyawarah memecahkan problema-problema bersama, sambil menampakkan ke dunia luar syiar Islam serta persatuan dan kesatuannya.[6] Islam juga mengajarkan adanya persamaan, yaitu sama-sama beribadah dan bertaqwa kepada Allah Swt, tanpa membedakan antara kaya dan miskin, pandai dan awam.[7]
Haji merupakan ibadah yang wajib dilaksanakan apabila seorang hamba telah mampu. Allah Swt mensyariatkan ibadah haji agar umat Islam berkumpul di satu tempat dengan berbagai jenis bangsa, aliran, dan berjauhan negara serta daerahnya. Apabila umat Islam berkumpul dari tempat yang jauh, niscaya terjadi perkenalan dan persahabatan.[8]
Bangsa Arab berkenalan dengan bangsa India, bangsaTurki berkenalan dengan bangsa Cina, bangsa Jawa berkenalan dengan bangsa Dayak, bangsa Banjar berkenalan dengan bangsa Maroko dan demikian seterusnya. Jadi, dengan adanya pertemuan umat Islam sedunia, timbul rasa persaudaraan, dan dapat saling bertukar kepentingan dunia dan akhirat, maka dari ibadah haji ini diperoleh hikmah adanya persamaan, persatuan dan perdamaian.
2.    Aspek Ekonomi
Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa berjual beli di bolehkan pada musim haji (Q.S.Al-Baqarah: 198) sehingga dengan berkumpulnya kaum-kaum muslim dalam satu lokasi dan dengan jumlah yang demikian besar memberikan kesempatan untuk mengadakan hubungan perdagangan/ekonomi baik secara langsung ketika itu, maupun tidak langsung.[9]
Suku bangsa yang satu mengenal keadaan perdagangan, perindustrian, pertanian, dan manfaat lain yang ada pada bangsa lain.
3.    Aspek Etika
Kedatangan kaum muslimin ke Makkah sebagai pemenuhan panggilan Allah Swt yang dikumandangkan oleh Nabi Ibrahim as dan peneladanan beliau demikian pula kedatangan mereka menziarahi kuburan Nabi Muhammad SAW, walaupun ziarah tersebut tidak termasuk dalam rangkaian ibadah haji yang di wajibkan tetapi merupakan pengakuan jasa-jasa Nabi nabi tersebut serta pernyataan penghormatan dan pengagungan kepada mereka.[10]
4.    Aspek Kejiwaan
a)    Ketentraman Jiwa
Haji adalah salah satu cara untuk membersihkan jiwa dalam arti bahwa seseorang yang berada dalam lingkungan Ka’bah merupakan arah dan tempat ketika di jadikan Allah Swt untuk menghadap kepada-Nya, akan merasa dekat denganNya sehingga ia menyampaikan keluhan dan harapannya dalam suasana kedekatan tersebut dan hal ini menimbulkan rasa kelezatan rohani dan ketentraman jiwa yang tidak terlukiskan.[11]
b)   Pendidikan Akhlak
Jika orang hendak melakukan haji, sebelum keluar dari rumahnya bertaubat kepada Allah Swt, mengganti dan berniat tidak melakukan dosa dan kejahatan lagi. Tidak melakukan semua ibadah haji melainkan ia berkeyakinan bahwa Allah Swt mengampuni dosa dan menghapusnya dari catatan-catatan amal perbuatannya.[12]
Jika dibujuk oleh hawa nafsunya untuk melakukan dosa, ia mengusir nafsu untuk berbuat jahat dan menundukkan kebinalannya, dan segera bertaubat. Jika orang yang melakukan haji dibujuk oleh hawa nafsunya untuk melakukan dosa atau kejahatan, dia tidak lepas dari manusia di sekitarnya yang mendidik dan memandang dosa itu dengan matanya sebagai keburukan.[13]
c)    Menyemai Keinsyafan
Ibadah haji pasti memberi keinsafan yang kita pasti akan bertemu Allah Swt hanya dengan bekalan amal kebaikan dan taqwa. Pangkat dan harta hanyalah perhiasan duniawi.
d)   Meningkatkan Rasa Syukur
Meningkatkan rasa syukur sedalam-dalamnya atas segala karunia Allah Swt  sehingga mempertebal rasa pengabdian kepadaNya.[14]
e)    Mempertebal Rasa Sabar
Mempertebal rasa sabar dan meningkatkan ketaatan terhadap ajaran-ajaran agama. Selama menjalankan ibadah haji, merasakan betapa berat perjuangan yang di hadapi untuk mendapatkan keridhaan Allah Swt.
5.    Aspek Ibadah
Dalam pelaksanaan ibadah haji, nampak secara jelas aspek-aspek ibadah, yang dapat dilihat dalam tata cara yang ditetapkan. Tata cara tersebut apabila di tinjau secara lahiriah, tanpa memperhatikan makna-makna yang terkandung di dalamnya, dapat menimbulkan kesalahpahaman-kesalahpahaman, seperti berkeliling (tawaf) di Ka’bah, berjalan mondar mandir antara bukit Shafa dan Marwah, melontar batu-batu kecil dan sebagainya, namun walaupun hal-hal tersebut belum/tidak di pahami oleh seseorang ia harus melaksanakannya sebagai tanda tunduk, patuh dan meneladani Nabi SAW.[15]

Selain aspek- aspek utama tersebut, terdapat hikmah atau aspek lain dari melaksanakan haji, diantaranya:
a)      Mereka dapat mengenal satu sama lain, antara satu suku bangsa dengan bangsa lain, sehingga mereka akan menyadari bahwa dulunya mereka memang dari keturunan adam dan hawa.
b)      Mereka dapat saling belajar dan menukar pengalaman diberbagai bidang kehidupan seperti bidang pertanian, perdagangan, perhubungan, teknologi, industry juga dibidang sosial kemasyarakatan. Seperti bidang pendidikan, kesehatan, kependudukan, bidang sosial yang lain. Demikian juga dibidang budaya. Keberhasilan yang satu bisa ditiru oleh yang lain, kegagalan yang satu dapat dibuat pelajaran bagi yang lain.
c)      Mereka dapat saling mengadukan nasib masing-masing di daerah dan negaranya, atau mereka dapat menyampaikan berbagai keluhan kepada saudara-saudaranya yang lain sesama kaum muslimin, seperti perlakuan tidak adil, perlakuan kurang wajar, dan ketimpangan-ketimpangan politik lainnya dari penguasa masing-masing. Kemudian mereka dapat membahas dan memecahkannya secara bersama-sama, atau tentang suksesnya kerjasama kaum muslimin dengan segala perangkat organisasinya dengan pihak pemerintah atau pertimbangan saudara-saudaranya yang lain terutama dalam menghadapi pemerintah dan penguasanya.
Kegunaan dan manfa’at inilah diisyaratkan oleh Allah dalam surah al-hajj ayat 28 sebagaimana kelanjutan ayat diatas :
....ليشهد وامنا فع لهم.....
“...Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka…
Demikianlah kemanfaatan-kemanfaatan yang kadang kala tidak dimengerti atau tidak disadari oleh kebanyakan jamaah haji (jam’iyah al hujaj). Karena manfaat yang begitu besar, maka Rasulullah bersabda sebagaimana dikutip oleh Syekh Al-Jurjawi yang maksudnya bahwa seseorang yang sudah mampu dari berbagai segi untuk melakukan ibadah haji, kemudian ia tahu-tahu mati sebelum sempat berangkat, maka Islamnya diragukan.
Ibadah haji mengandung dua unsur, pertama menampakkan unsur ibadah, yang kedua menampakkan unsur syukur atas nikmat Allah yang telah diterima , seperti halnya ibadah-ibadah yang lain.[16]

C.  Hikmah Ibadah Haji
1.    Hikmah Wukuf di Arafah
Bahwa para nabi as menyembah Allah dan menjadi Imam di tempat ini, kemudian diwarisi oleh orang-orang sesudahnya. Mengikuti sunnah para nabi as dalam hal waktu adalah merupakan pokok. Demikian pula Wukuf Umat Islam di tempat itu adalah memenuhi ajakan dan memohon agar Allah mengampuni dosa, menghapus kesalahan, meminta rahmat Allah, dan agar diperkenankan do’a-do’a mereka pada saat-saat mereka meninggalkan keluarga dan tanah airnya.[17]
Dengan pelaksanaan demikian, berdampak pada aspek kejiwaan hamba yang melaksanakannya, yaitu ketentraman jiwa, pendidikan akhlak, dan menyemai keinsyafan.
2.    Hikmah Sa’i antara Shofa dan Marwa
Hikmah disyariatkan Sa’i, bahwa Sayidah Hajar istri nabi Ibrahim Al Khalil as ketika kesulitan mendapatkan air untuk memberi minum dia sendiri dan putranya Ismail as ditempat tersebut, berusaha mencari air dengan merendahkan diri di hadapan Allah Swt, semoga menunjukkan air untuk menghilangkan haus darinya dan putranya. Maka memancarlah air dari tanah sumur Zamzam sebagai rahmat Allah Swt yang dikaruniakan jutaan manusia. Tempat para haji Baitullah mengambil air sampai sekarang.
Apabila orang haji melakukan Sa’i antara Shofa dan Marwa dengan cara ini, berarti ia memohon kepada Allah Swt agar menyelamatkannya dari bahaya kesulitan air dan agar Allah Swt melimpahkan rahmatNya yang luas kepadanya sebagaimana memberikan rahmat kepada Sayidah Hajar ketika memohon rahmat dan pertolongan kepada Allah Swt.
3.    Hikmah Tawaf
Baitul Haram adalah rumah yang mula-mula dibangun menjadi tempat manusia memuliakan Penciptanya Yang Maha Tinggi dan Maha Perkasa, hal yang demikian menjadi adab sopan santun yang sempurna dan keistimewaan yang utama, jika orang yang menjalankan haji memberikan penghormatan dan pengagungan dengan sebenar-benarnya.
4.    Hikmah Melempar Jumrah
Hikmah melempar jumrah adalah mengikuti apa yang dilakukan nabi Ibrahim al Khalil as, Allah Swt menurunkan wahyu kepada nya di tanah yang suci ini untuk menyembelih putranya dan beliaupun mentaatiNya. Berangkatlah beliau untuk melaksanakan perintah Allah Swt. Lalu Iblis menggodanya agar tidak melakukan penyembelihan itu, maka nabi Ibrahim mengambil batu dan melemparnya. Iblis datang yang kedua kalinya untuk menghadap Sayidah Hajar dan mengejek perbuatan Ibrahim menyembelih putra dan buah hatinya. Sayidah Hajar pun mengambil batu dan melemparnya. Yang terakhir Iblis menggoda Ismail dan mengejek perbuatan ayahnya, seraya mengatakan, bahwa perbuatan itu belum pernah terjadi di dalam sejarah manusia di dunia sejak Allah Swt menciptakan. Maka Ismail menggenggam kerikil dan melemparnya.[18]
Iblis menggoda Ibrahim, Sayidah Hajar, dan Ismail yang masing-masing melemparnya, maka kita mengikuti mereka di dalam melempar Iblis yang dilaknat Allah Swt. Sebab Iblis adalah musuh Umat Islam dan seluruh manusia, ia hendak menjerumuskan ke dalam perbuatan maksiat, dan menggoda sebagaimana menggoda nabi Ibrahim, Ismail, dan Sayidah Hajar.[19]
5.    Hikmah Pakaian Tidak Berjahit dan Berwarna Putih
Warna putih melambangkan kesucian dan kebersihan yang keduanya nampak jelas pada pakaian warna putih. Pakaian sederhana yang dikenakan oleh para haji menunjukkan, bahwa manusia keluar dari hiasan gemerlapan dunia. Keluar dari dunia yang fana ini. Ia bermunajat kepada Allah Swt dengan pakaian yang tidak ada bedanya antara raja, presiden, rakyat jelata, menteri, orang kaya, dan orang miskin.[20]
Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk berpakaian yang tidak berjahit dan menutup kepala pada waktu ihram, mengisyaratkan bahwa dia bagaikan seorang bayi yang dibungkus dengan kain yang tidak berjahit, yakni dia tidak berharta untuk dirinya. Karena kekuasaan hanyalah milik Allah Swt.
6.      Hikmah Cukur Rambut
Potong rambut diperintahkan secara hukum, jika tumbuh rambut dikepalanya. Adapun apabila rambut di kepalanya tidak tumbuh, maka cukup mengerikkan pisau di atas kepalanya seperti orang mencukur rambut.[21]
Cukur rambut menjadi penguat dan realisasi akan selesainya masa ihram yang mendahului Thawaf Wada’. Hikmahnya, jika orang melakukan haji hendak kembali sesudah menunaikan ibadah haji selayaknya mengucapkan selamat tinggal kepada Baitul Haram. Adalah termasuk sopan santun, jika manusia mengucapkan selamat tinggal kepadanya dalam keadaan bersih dan rambut yang teratur.[22]
7.    Hikmah Berjalan Cepat Setengah Lari
Allah Swt mensyari’atkan berjalan cepat karena hikmah yang sangat besar. Yakni jika Umat Islam berjalan cepat berlari-lari secara masal seperti lautan yang ombaknya saling berbenturan dan di antara dua gunung, menunjukkan kekuatan dan kebesaran Umat Islam.[23]
8.    Hikmah Sembelihan
Hikmah menyembelih binatang ternak adalah mengikuti jejak nabi Ibrahim as, Allah memerintahkan lewat mimpi untuk menyembelih putranya nabi Ismail as, lantas beliau mentaatinya. Kemudian Allah Swt menggantinya dengan binatang sembelihan. Dalam hal ini ada dua hikmah, pertama menampakkan ketaatan yang sempurna kepada Sang Pencipta Yang Maha Tinggi meskipun menyuruh menyembelih anaknya. Kedua, mensyukuri nikmat Allah Swt berupa tebusan di mana orang yang menyembelih binatang sembelihan termasuk orang-orang yang bersedekah.[24]




[1] Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Haji: Penuntun Jama’ah Haji Mencapai Haji Mabrur, Jakarta: Ciputat Press, 2003, hlm. 1.
[2] Ibid.
[3] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hlm. 204, hlm.202
[4] Ibid, hlm.203-204
[5] Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Haji,..., hlm. 27-28.
[6] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, ..., hlm. 204
[7] Labib dan Moh. Ridhoie, Kuliah Ibadah, (Surabaya: Tiga Dua, tt), hlm. 476
[8]Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Tarjamah Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, (Semarang: Asy Syifa, 1992), hlm. 204
[9] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, ..., hlm. 204
[10] Ibid., hlm. 204-205.
[11] Ibid., hlm. 205.
[12] Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Tarjamah Falsafah dan Hikmah Hukum Islam,..., hlm. 205.
[13] Ibid.
[14] Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Haji,..., hlm. 16.
[15] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam,.., hlm. 205-206.
[16] Asmawi,Filsafat Hukum Islam,(Yogyakarta: Teras,2009).hlm.91-92
[17] Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Tarjamah Falsafah dan Hikmah Hukum Islam,..., hlm. 224.
[18] Ibid, hlm.229
[19] Ibid
[20] Ibid., 241-242.
[21] Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Tarjamah Falsafah dan Hikmah Hukum Islam,.., hlm. 233.
[22] Ibid.
[23] Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Tarjamah Falsafah dan Hikmah Hukum Islam,..., hlm. 245.
[24] Ibid., hlm. 243.