Minggu, 08 November 2015

Analisis Paradigma Perubahan Sosial dan Perubahan Hukum



A.  Paradigma Perubahan Sosial Dan Perubahan Hukum
Perubahan sosial dan sektor hukum merupakan dua hal yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Kedua hal tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Interaksi perubahan sosial di satu sisi dan perubahan hukum di sisi lain. Interaksi tersebut membawa konsekuensi ilmiah karena akan dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Untuk menganalisa dampak yang ditimbulkan sekurang- kurangnya terdapat dua paradigma atau cara pandang secara ilmiah.[1]
Adapun paradigma yang berkembang dalam memberikan format atas hubungan interaksi perubahan sosial dan perubahan hukum adalah:
1.    Hukum melayani kebutuhan masyarakat, agar supaya hukum itu tidak akan menjadi ketinggalan oleh karena lajunya perkembangan masyarakat.
Dimana apabila pada masyatakat dulu sesuatu yang dianggap buruk yang merupakan hal yang ditolak, kemudian karena ada perubahan nilai dalam masyarakat tersebut yang kemudian hal tersebut dianggap hal yang biasa dan merubah perilaku dalam masyarakat dan menimbulan tuntutan legalitas terhadap perubahan tersebut.
Ciri- ciri dari paradigma ini adalah:
a.       Perubahan yang cenderung diikuti oleh sistem lain karena dalam kondisi ketergantungan.
b.      Ketertinggalan hukum di belakang perubahan sosial.
c.       Penyesuaian yang cepat dari hukum kepada keadaan baru.
d.      Hukum sebagai fungsi pengabdian.
e.       Hukum berkembang mengikuti kejadian berarti di tempatnya adalah di belakang peristiwa bukan mendahuluinya.

Paradigma peitama ini kita sebut sebagai Paradigma Hukum Penyesuai Kebutuhan. Makna yang terkandung dalam hal ini adalah bahwa hukum akan bergerak cepat untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Kebutuhan akan peraturan perundang-undangan yang baru misalnya adalah yang nampak jelas dalam paradigma ini. Kita tidak bisa menghindari bahwa kebutuhan masyarakat akan suatu pengaturan sedemikian besar tidak disertai oleh pendampingan hukum yang maksimal.
Lajunya perubahan sosial yang membawa dampak pada perubahan hukum tidak serta merta diikuti dengan kebutuhan secara langsung berupa peraturan perundang-undangan. Persoalan ini sudah masuk dalam ranah mekanisme dalam lembaga perwakilan rakyat.Tetapi kebutuhan masyarakat agar hukum mampu mengikuti sedemikian besar agar jaminan keadilan, kepastian hukum dapat terus terpelihara.
            Sebagai contoh dalam paradigma ini adalah kejahatan teknologi canggih seperti komputer, internet (cyber crime), pengaturan pernikahan beda agama, cloning, perbankan syari'ah, santet dan sejenisnya, pornografi, terorisme, status hukum waria, legalitas pernikahan lesbian dan homo, bayi tabung, eutha­nasia.
Sedemikian banyak sesungguhnya yang terjadi dalam masyarakat yang perlu dibungkus dengan baju hukum tetapi tidak semua diatur oleh hukum. Ini ibarat fenomena gunung es, yang secara realitas hal-hal tersebut adalah permukaan saja yang senyatanya lebih banyak dari contoh di atas.
Hal-hal yang diatur oleh hukum di kemudian hari sudah merupakan pilihan kebijakan publik dari pemerintah dengan beberapa pertimbangan. Kalaupun misalnya persoalan-persoalan di atas masuk dalam perkara di pengadilan maka yang dijadikan dasar adalah aturan yang bersifat umum, masih mencari-mencari peraturan bahkan sudah kadaluwarsa, tidak spesifik pada kasus tersebut.
Paradima pertama ini dalam interaksi perubahan sosial terhadap perubahan hukum paling banyak terjadi. Hal ini membuktikan bahwa hukum mempunyai peranan apabila masyarakat membutuhkan pengaturannya. Jadi sifatnya menunggu. Setelah suatu peristiwa menimbulkan sengketa, konflik, bahkan korban yang berjatuhan maka kemudian dipikirkan, apakah diperlukan pengaturannya secara formal dalam peraturan perundang-undangan. Kondisi ini menampilkan posisi hukum sangat tergantung sebagai variabel yang dependent terhadap perubahan sosial yang terjadi.
2.    Hukum dapat menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu perubah n-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat.[2]
Ciri- ciri dari paradigma ini adalah:
a.       Hukum merupakan alat merekayasa masyarakat.
b.      Hukum merupakan alat merubah masyarakat secara lagsung.
c.       Hukum berorientasi masa depan.

Esensi dari paradigma ini adalah penciptaan hukum digunakan untuk menghadapi persoalan hukum yang akan datang atau diperkirakan akan muncul. Paradigma kedua ini disebut sebagai Paradigma Hukum Antisipasi Masa Depan[3]. Persoalan hukum yang akan datang dihadapi dengan merencanakan atau mempersiapkan secara matang, misalnya dari segi perangkat perundang-undangan. Hal ini banyak kita jumpai perundang-undangan yang telah diratifikasi di bidang hukum internasional misalnya peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
Berkaitan dengan paradigma ini, terdapat juga peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial tetapi menghadapi polemik yang kontroversial dalam masyarakat.

Kedua paradigma di atas pada akhirnya akan berujung pada keinginan untuk membuat produk hukum berupa peraturan perundang-undangan.

B.  Interaksi Perubahan Hukum dan Perubahan Masyarakat
Dalam hal ini adanya perubahan hukum pastilah akan merubah nilai- nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Tetapi, perubahan hukum yang bersangkuan dalam kenyataannya tidak sama persis dengan yang diinginkan masyarakat atau kelompok masyarakat yang mempelopori perubahan hukum tersebut. Berbagai kemungkinan yang terjadi antara lain[4]:
a.       Hukum benar- benar berubah seperti kainginan masyarakat (full compliance)
b.      Hukum mempertajam persepsi perubahan dalam masyarakat
c.       Hukum hanya melakukan ratifikasi atau pengesahan atas sesuatu yang benar- benar telah berubah dalam masyarakat
d.      Hukum berubah tetapi tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat, karena adanya keengganan dari pihak yang berwenang merubah hukum untuk menyerap aspirasi masyarakat, munculnya pendapat yang lebih kuat dari pendapat masyarakat secara umum dalam forum perubahan hukum

ANALISA:

Kaitannya terhadap perubahan UU Pilkada no 1 tahun 2014 ke UU Pilkada no 8 tahun 2015 adalah:
            Setelah diundangkannya Undang- Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang perubahan atas Undang- Undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Guberbur, bupati, walikota menjadi Undang- Undang beberapa waktu lalu, hampir semua partai politik pada umumnya dan para bakal calon kepala daerah sudah berancang- ancang.
Maksud pemerintah mengubah UU Pilkada tersebut pastinya adalah untuk menyejahterakan dan demi perkembangan masyarakat itu sendiri. wakil komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria berpendapat bahwa dalam UU Pilkada yang disahkan pada Februari tanggal 17 tersebut diyakini akan mampu meminimalisasi politik uang atau money politics, dan semacamnya dalam pencalonan seseorang sebagai kepala daerah.[5]
Oleh karena itu, jika seseorang terbukti melakukan politik uang, maka yang bersangkutan langsung dipidana dan pencalonannya otomatis gugur, dan parpol pengusungpun untuk kali berikutnya tidak boleh mencalonkan. Terkait hal tersebut, dari anggota DPR RI ada yang mengusulkan agar komisi pemilihan Umum (KPU) membuat aturan atau surat edaran KPU agar parpol yang terbukti melakukan politik uang bisa langsung didiskualifikasi. Apalagi mengingat mulai desember 2015 nanti sudah ada 272 Pilkada.
Dikatakan dalam UU tersebut sebenarnya tidak terlalu banyak perubahan dari UU sebelumnya, dalam UU baru ini hanya memotong politik dinasti dan kekerabatan. Dikatakan yang terpenting dalam pelaksanaan pemilu serentak tersebut adalah parpol, penyelenggara pemilu, penegak hukum, dan masyarakat sendiri.
Pada pemilu 2014 lalu saja terdapat 900-an kasus penyimpangan pileg. Sebisa mungkin UU Pilkada itu tidak selalu coba- coba, apalagi kita sudah melakukan 1080 kali pikada. Yang terpenting dalam pemilu adalah Bawaslu dan Panwaslu, agar menghasilkan pemilu yang demokratis, bermartabat, jujur, dan berkualitas.
Pilkada langsung maupun oleh DPRD, sebenarnya sama- sama mamiliki kelebihan dan kekurangan. Tetapi, khusus politik dinasti dan money politics dalam UU pilkada ini sebagai langkah maju. Sebab, kerabat dekat kepala daerah (incumbent/ petahana) tidak boleh maju lagi untuk berikutnya. Ini jelas tertulis dalam UU no 8 tahun 2015 pasal 7 huruf r atas UU no 1 tahun 2015 tentang penetapan perpu no 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, walikota (uu pilkada) terkait syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/ perkawinan dengan petahana. Penjelasan pasal 7 huruf r menyebutkan, yang dimaksud dengan tidak mamiliki konflik kepentingna petahana adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/ atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengna petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
Aturan tersebut tentunya mengundang pro dan kontra dalam penerapannya. Dilihat dari kembali dipersoalkannya UU ini ke Mahkamah Konstitusi (MK), salah satunya oleh Lanosin, adik kandung Bupati Petahana Ogan Konering Ulu Timur, Sumatera Selatan. Menurutnya pasal tersebut menghalangi hak konstitusional pemohon untuk mencalonkan diri dalam pilkada di Sumatera Selatan. Selain itu menurut pemohon, ketentuan yang menetapkan syarat calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana bersifat diskriminasi dan menimbulkan ketidak pastian hukum yang adil. Seharusnya, frasa yang benar terkait dengna norma tersebut adalah “Petahana tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan salah satu calon”, bukan sebaliknya seperti termuat dalam pasal tersebut. Pembatasan pencalonan atas dasar faktor kelahiran/ darah/ perkawinan secara nyata telah melanggar prinsip civil liberties yang dilindungi hukum internasional. Hal ini tertuang dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) 1966 yang telah diratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005 yang melarangg perlakuan diskriminasi salah satunya didasarkan oleh kelahiran.[6]
Tetapi jika dilihat dari masyarakat pada umumnya, tujuan pemerintah mengadakan aturan ini ada benarnya. Dimana kekuasaan politik jika menurut pada politik dinasti maka kekuasaan hanya akan dikuasai oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Politik dinasti ini lebih identik dengan kerajaan sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak atau kerabat dekatnya sesuai tatacara yang diatur dalam kerajaan tersebut agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga.
Berbagai persyaratan tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan calon pemimpin daerah yang memiliki kemampuan serta menguasai ilmu dan seni memimpin, terutama bagaimana menyusun pola kegiatan yang efektif, menerapkan pola kekuasaan yang tepat dari sisi waktu dan tindakan serta lingkungan, memiliki pola kepemimpinanyang dapat menggerakan bawahan dan masyarakat sehingga mencapai tujuan organisasi dan peningkatan kehidupan masyarakat.
Kemudian pasal yang berhubungan dengan politik uang, juga mengandung pro dan kontra dalam penerapannya. Bahwa apabila diperhatikan secara seksama sanksi pidana sebagaimana diatur di dalam pasal 177 sampai dengan pasal 198 UU no 1 tahun 2015, tidak ditemukan satu pasal pun yang mengatur sanksi jual beli dukungan partai politik. Sedangkan pada pasal 47 UU Noo 8 Tahun 2015 hanya menambahkan redaksi “Wakil Gubernur”, “Wakil Bupati”, dan “Wakil Walikota” serat tidak ada perbaikan berupa menambah sanksi pidana terhadap pasal 47 tersebut.
Pasal 47 ayat (5) mensyaratkan adanya Putusan Pengadilan yang bersangkutan hukum tetap sebelum membatalkan pasangan calon terpilih yang terbukti melakukan jual beli dukungan Partai Politik. Namun pada faktanya tidak ada material sanksi pidana yang dapat digunakan oleh Pengadilan untuk menjatuhkan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sehingga sanksi pembatalan calon terpilih pun tidak dapat dilakukan.
Dalam hal ini, hukum sebagai pelayan kebutuhan masyarakat pun masih sangat jauh dari apa yang di wacanakan. Karena politik uang dalam pelaksanaan pikada ataupun dalam ranah perpolitikan apapun, telah mendarah daging dalam pelaksanaannya. Dan juga didukung tidak adanya kepastian hukum tentang pelaksanaan politi8k uang dalam pilkada sesuai keterangan di atas tadi.
Selain itu, hukum atau aturan yang telah di buat oleh pemerintah dalam hal politik uang ini tidak begitu berarti dalam perubahan dalam masyarakat sendiri. jadi, yang dapat kita simpulkan dalam hal interaksi hukum dengan perubahan masyarakat adalah hukum berubah tetapi tidak seperti yang diinginkan oleh masyarakat, karena adanya ketiak singkronan antara aturan yang dibuat dengan realita keadaan itu sendiri.
Kemudian yang perlu kita analisis adalah tentang pengujian Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 121 ayat(1), dan Pasal 122 ayat (1) UU Pilkada terkait aturan syarat minimal pelaksanaan pilkada harus diikuti dua pasangan calon kepala daerah atau mensiratkan adanya larangan pasangan calon tunggal.
Dalam pengujian Pasal- pasal ini dikarenakan banyak daerah yang hanya memiliki satu calon atau calon tunggal saja. Pertimbangannya dari pada terjadi kekosongan kekuasaan, maka kasus tersebut diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) guna pengujian Undang- Undang agar hal tersebut jangan sampaai terjadi. Hal ini utamanya mempertimbangkan kepentingan rakyat agar hak pilihnya tetap bisa terjamin.
Kemudian pada tanggal 29 september 2015, MK menyatakan mengabulkan permohonan uji materi terkait calon tunggal untuk tetap bisa melaksanakan pilkada serentak pada Desember 2015 mendatang. Hakim MK menilai, Undang- Undang telah mengamanatkan pilkada sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah secara langsung dan demokratis. Pertimbangannya adalah perumusan norma UU Nomor 8 tahun 2015 yang mengharuskan adanya lebih dari satu pasangan calon tidak memberikan solusi yang menyebabkan kekosongan hukum. Dan hal itu berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya pilkada. Dan syarat mengenai jumlah pasangan calon itu akan berpotensi mengancam kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih.
Dalam hal ini tujuan pemerintah adalah menjaga kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih calon kepala daerahnya. Dan ini merupakan cerminan bahwa hukum atau aturan dalam hal ini berfungsi sebagai pelayan kebutuhan masyarakat. Walaupun pada hakikatnya mulanya aturan dalam UU Pilkada mengharuskan lebih dari satu calon kepala daerah, tetapi aturan tersebut dapat di uji kembali dalam MK demi mengutamakan kepentingan rakyat itu sendiri. dalam pengaruhnya, hukum terhadap masyarakat adalah hukum berubah sesuai apa yang diinginkan masyarakat dalam mempertahankan kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih.
















DAFTAR PUSTAKA
·      Ni’mah, Zulfatun, Sosiologi Hukum Sebuah Pengantar, cet-1, (Yogyakarta: Teras, 2012)




[1] Zulfatun Ni’mah, Sosiologi Hukum Sebuah Pengantar, cet-1, (Yogyakarta: Teras, 2012), hal.95
[2] Ibid, hal. 97
[3] Ibid, hal.98
[4] Ibid, hal. 100
[6] http://m.hukumonline.com/larangan-politik-dinasti-kembali-dipersoalkan