Selasa, 24 Mei 2016

merek

HAK MEREK
Pengertian Merek
Dalam pasal 1 butir 1 Undang-Undang Merek 2001 diberikan suatu definisi tentang merek yaitu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsure-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
secara umum, merek adalah suatu lambang, simbol, tanda, perkataan atau susunan kata-kata
di dalam bentuk suatu etiket yang dikutip dan dipakai oleh seorang pengusaha atau
distributor untuk menandakan barang-barang khususnya, dan tidak ada orang lain
mempunyai hak sah untuk memakainya desain atau trade mark menunjukkan keaslian
tetapi sekarang itu dipakai sebagai suatu mekanisme periklanan.
Hak Atas Merek Sebagai Hak Kekayaan Intelektual
Sama halnya dengan hak cipta dan paten serta hak atas kekayaan intelektual
lainnya maka hak merek juga merupakan bagian dari hak atas intelektual. Selain dari
alasan yang telah disebutkan pada bagian awal tulisan ini, maka khusus mengenai hak
merek secara eksplisit disebut sebagai benda immateril dalam konsiderans UU Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek (UUM 2001) bagian menimbang butir a, yang berbunyi:
Bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi
internasional yang telah diratafikasi Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting,
terutama dlam menjaga persaingan usaha yang sehat.
Merek produk barang atau jasa sejenis dapat dibedakan asal muasalnya,
kualitasnya serta keterjaminan bahwa produk itu original. Kadangkala yang membuat
harga suatu produk menjadi mahal bukan produknya, tetapi mereknya. Merek adalah
sesuatu yang ditempelkan atau dilekatkan pada satu produk, tetapi ia bukan jenis produk
itu sendiri. Merek mungkin hanya menimbulkan kepuasaan saja bagi pembeli, benda
materilnyalah yang dapat dinikmati. Merek itu sendiri ternyata hanya benda immateril
yang tak dapat memberikan apapun secara fisik, inilah yang membuktikan bahwa merek
itu merupakan hak kekayaan immateril.
Satu hal yang perlu dipahami adalah, pendaftaran Merek untuk memperoleh Hak Merek bukan berarti ijin untuk menggunakan merek itu sendiri. Siapapun berhak memakai merek apapun - didaftar ataupun tidak - sepanjang tidak sama dengan merek terdaftar milik orang lain di kelas dan jenis barang/jasa yang sama. Hanya saja, dengan merek terdaftar, si pemilik merek punya hak melarang siapapun untuk menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar miliknya tadi, tentunya untuk kelas dan jenis barang/jasa yang sama.  


Suatu merek yang dapat didaftar harus memiliki daya pembeda dan dipergunakan dalam perdagangan barang/jasa, dan dapat berupa:
·         Gambar: kacang garuda dua kelinci oleh perusahaan PT Dua Kelinci
                                 Adidas  : Adidas AG, sebuah perusahaan sepatu Jerman
·         Kata: pucuk harum, oleh PT Tirta Fresindo Jaya
Teh kotak, oleh PT Ultrajaya Milk Industry & Trading CO.,Tbk.
Permen Kiss: PT Mayora Indah.,Tbk.
·         Huruf: Helm INK oleh PT Tarakusuma Indah
Helm KYT oleh PT Tarakusuma Indah
Kopi ABC oleh PT Santos Jaya Abadi


Ø  ANALISIS MEREK YANG BELUM TERDAFTAR
Identifikasi merek yang belum terdaftar yaitu merek “KRECEK NANAS” dari desa Doroampel kec. Sumbergempol kab. Tulungagung ini merupakan produk rumahan, pasarannya sudah tersebar ke seluruh desa bahkan luar desa juga, tetapi merek ini belum terdaftar secara resmi. Padahal sudah terkenal dan ada capnya, tapi sangat disayangkan bahwa merek tersebut belum didaftarkan.
Jika ditelisik dari merek tersebut memenuhi syarat syarat pendaftran merek atau belum, menurut analisis saya belum bisa. Walaupun secara produk sudah memenuhi syarat untuk didaftarkan, tetapi ada unsur yang tidak membolehkan merek tersebut untuk didaftar, yakni nama merek produk identik dengan barang atau produk itu sendiri yakni krecek nanas. Jika nama merek diganti dengan merek yang tidak melanggar aturan yang tertera dalam Undang- Undang No 15 Tahun 2001 dalam artian diperbolehkan dalam pengajuan pendaftaran merek akan lebih menunjang pasaran produk tersebut dan bisa semakin mengembangkan pemasaran bahkan jika memungkinkan bisa menembus pasar luar negeri.
 

Rabu, 18 Mei 2016

Analisis Kasus Kredit Macet



Analisis Kredit Macet nasabah pada Bank Danamon
Ø  Landasan teori
Kredit secara bahasa Romawi, yaitu dari kosakata credere yang berarti percaya. Dengan demikian, dasar pengertian dari istilah atau kosakata kredit, yaitu kepercayaan sehingga hubungan yang terjalin dalam perkreditan di antara para pihak, sepenuhnya harus di dasari oleh adanya saling mempercayai, yaitu bahwa kreditur yang memberikan kredit percaya bahwa penerima kredit (debitur)akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan, baik menyangkut jangka waktunya maupun prestasi dan kontraprestasinya.[1]
Dalam Undang- Undang yang berlaku, istilah kredit merupakan sebutan bagi Bank konvensional, sedangkan pada Bank syariah disebut sebagai Pembiayaan. Sedangkan pengertian kredit sendiri, yang tercantum dalam pasal 1 ayat (2) Undang- Undang perbankan tahun 1998 atas perubahan Undang- Undang perbankan tahun 1992,
 kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan oihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

ü Yang dimaksud dengan tagihan atau yang dipersamakan dengan itu, adalah segala sesuatu yang dinilai bisa dinilai dengan uang dan dapat dijadikan sebagai objek kredit.
ü Waktu tertentu : disebutkan berapa lama uang tersebut dapat digunakan oleh nasabah.

Sedangkan pada pasal 1 ayat (12), dijelaskan tentang pembiayaan, yaitu:
“Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang diprsamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”
ü Dalam undang- undang ini tidak disebutkan pinjam meminjam dalam kesepakatannya.
ü Selain itu pengembalian bukan berupa bunga tetapi berupa penyertaan imbalan atau bagi hasil
Ø  Prinsip- prinsip pembiayaan ada 5, atau sering disebut dengan 5C, yaitu:
1.      Character: watak, kepribadian calon debitur.
2.      Capasity: kemampuan manajerial atau pengeloaan usaha.
3.      Capital: modal awal yang dimiliki.
4.      Collateral: adanya jaminan atau agunan.
5.      Condition of economy: keadaan ekonomi calon debitur.
Selain hal- hal tersebut, dalam memberikan kredit oleh bank kepada perusahaan yang merupakan kelompok usaha sendiri, kepada pemegang saham dan kepada pengurus bank yang bersangkutan, harus dihindarkan atau sekurang- kurangnya sangat dibatasi. Begitu juga pemberian kredit yang terlalu berlebihan kepada nasabah- nasabah tertentu akan dapat menempatka bank pada keadaan berisiko tinggi. Untuk itu perlu adanya ketentuan tentang penentuan batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit) yang harus dipatuhi oleh setiap bank.[2]
Karena pemberian kredit pada nasabah ini mengandung resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya yang nantinya bisa berpengaruh pada kesehaatan bank,  maka untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya bank diwajibkan mengatur penyaluran kredit, pemberian jaminan atau fasilitass lain sehingga tidak berpusat pada peminjam atau kelompok peminjam tertentu.
Kaitannya dengan resiko- resiko tersebut, maka bank dilarang memberikan penyaluran dana yang mengakibatkan pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Mengenai BMPK ini diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No 8/13/PBI/2006 atas perubahan No 7/3/PBI/2005 tentang BMPK.
Bank dinyatakan melakukan pelanggaran larangan terhadap ketentuan BMPK apabila pada saat pemberiannya saldo kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah tersebut melampaui batas maksimum yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam Undang- Undang mengenai BMPK tersebut.
Ø  Studi kasus
Kasus kredit macet yang dilakukan oleh salah satu nasabah Bank Danamon unit cabang kalangbret, tulungagung, jawa timur. Nasabah atas nama Titin setyani yang beralamatkan di desa Tambaksari, tulungagung. Nasabah ini mengajukan kredit pada bank danamon sebesar 15 juta tanpa jaminan dengan angsuran Rp 880.000/bulan dalam jangka waktu 24 bulan atau 2 tahun.
Pinjaman ini digunakan untuk modal usaha pengembangan usaha konveksinya. Pada angsuran pertama sampai angsuran ke 8 lancar dan dapat dipenuhi, tetapi pada angsuran berikutnya usahanya mengalami kebangkrutan dengan alasan banyak pelanggan yang berhutang padanya dan tidak membayar hutangnya pada bu Tintin ini. Disini ada kesalahan dalam pengaturan menajemen keuangan dalam usaha yang dilakukan oleh bu Titin ini.
Dikarenakan nasabah ini yang pada akhirnya menunggak ansuran setelahnya, pada bulan ke 4 tunggakan, dari pihak Bank mendatangi nasabah tersebut dan mencoba mencari jalan keluar yang bisa di tempuh kedua pihak.
Dari pihak Bank menawarkan pembayaran kekurangan tunggakan tersebut dengan cara memperpanjang tenggang waktu pembaaran dengan pengurangan nominal angsuran yang harus di bayar setiap bulannya, yakni sebesar  Rp 650.000/ bulan hingga kurangan tunggakan tersebut terpenuhi.
Tetapi kenyataannya karena si nasabah tersebut terbelit hutang dimana- mana, sehingga angsuran tersebut tidak terpenuhi juga dan hingga akhirnya nasabah ini pergi keluar kota dengan alasan kerja di loar kota guna membayar hutang- hutang nya.
Yang disayangkan dari pihak bank tersebut tidak meminta jaminan ketika memberikan kredit pada si nasabah ini. Sehingga, tidak ada barang digunakan oleh pihak bank untuk pelunasan dari kredit yang diberikan pada nasabah.

Ø  Analisis kasus
Dari kasus diatas dapat dikatakan sebagai kredit macet, karena menurut pendapat Gatot Suparmono, SH (1997 : 131), Kredit macet adalah suatu keadaan dimana seorang nasabah tidak mampu membayar lunas kredit bank tepat pada waktunya.[3]
Keadaan di atas dalam hukum perdata disebut ingkar janji atau wanprestasi. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa :
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Jika dihubungkan dengan kredit macet ada 3 poin yang berkenaan dengan wanprestasi di atas:
a. Debitur sama sekali tidak bisa membayar angsuran kredit.
b. Debitur membayar sebagian saja angsuran kredit.
c. Debitur membayar lunas setelah jangka waktu diperjanjikan berakhir (terlambat).

Jadi pada intinya kredit macet merupakan kredit bermasalah dimana karena suatu hal seorang debitur mengingkari janji mereka membayar kredit yang telah jatuh tempo sehingga terjadi keterlambatan atau sama sekali tidak ada pembayaran maka timbulah apa yang disebut kredit macet.
Dari kasus diatas dapat diketahui dalam proses pekreditan tersebut terjadi kealpaan dalam hal penyertaan jaminan. Sehingga menimbulkan celah besar, sehingga terjadi kredit macet dalam pelaksanaannya.
Dengan tidak adanya jaminan dalam pekreditan ini,membuat beberapa unsur fungsi dari adanya jaminan iu sendiri hilang an yang akhirnya menimbulkan terjadinya kredit macet tersebut, unsur yang hilang dari fungsi jaminan kredit diantaranya adalah sebagai berikut:
a.    Tidak adanya hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari agunan apabila debitur melakukan cedera janji, yaitu untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah diperjanjikan sebelumnya.
b.    Semakin besarnya kemungkinan nasabah untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya.
c.    Tidak adanya dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat- syarat yang telah disetujui agar debitur dan/atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.
Sebab- sebab inilah yang pada akhirnya dijadikan peluan untuk nasabah tidak memenuhi tanggungannya. Selain mungkin diawal tiak ada maksud dari nasabah untuk melakukan tindakan lari dari tangggungan, tetapi karena adanya peluang semacam inilah yang merugikan pihak bank sendiri.
Dalam pemberian kredit, suatu bank pada hakikatnya harus menganut asas “mengambil resiko sekecil mungkin”. Risiko yang dimaksud adalah risiko terhadap kemungkinan nasabah tidak melunasi tanggungannya terhadap kreditur atau pihak bank itu sendiri.
Kaitannya dengan mengambil resiko sekecil mungkin dalam hal pemberian kredit tersebut sudah termaktub sebelumnya dalam keputusan Bank Indonesia dalam surat Direksi Bank Indonesia Nomor 27/127/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang kewajiban penyusunan dan Pelaksanaan Perkreditan Bank bagi bank umum, yang kemudian disebarluaskan melalui Surat Edaran Bnak Indonesia Nomor 27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 perihal Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank Umum. Dalam ketentuan ini disebutkan setiap Bank Umum harus dan wajib memiliki Kebijakan Perkreditan Bank (KPB) secara tertulis dan disetujui oleh dewan komisaris bank, yang minimal harus mencakup beberapa aspek yang telah ditentukan dalam Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB). Yang meliputi:
a)    Prinsip kehati- hatian dalam perkreditan
b)   Organisasi dan manajemen perkreditan
c)    Kebijakan persetujuan kredit
d)   Dokumentasi dan administrasi kredit
e)    Pengawasan kredit
f)    Penyelesaian kredit bermasalah
Aspek yang hilang dari kasus diatas adalah kurangnya penerapan aspek prinsip kehati- hatian dalam pemberian kredit pada nasabah. Tidak adanya agunan atau jaminan yang disyaratkan dalam pengajuan kredit inilah yang menjadi titik lemah dari bank dalam memberikan perkreditan. Ini adalah salah satu indikasi kuangnya penerapan prinsip kehati- hatian. Padahal jika ditelisik dari aspek prinsip kehati- hatian ini merupakan aspek dasar yang harus terpenuhi oleh bank guna meminimalisir segala bentuk kemungkinan yang akan merugikan pihak bank yang ada dalam pemberian kredit.
Dalam pemenuhan dan penerapan KPB inilah yang kurang dioptimalkan oleh pihak bank dalam kasus ini. Atau mungkin saja ada aturannya namun dalam penerapannya yang kurang optimal, sehingga menimbulkan resiko kredit macet oleh nasabah sebagai Debitur.
Adapun tujuan dari KPB ini adalah mengoptimalkan pendapatan dan menngendalikan risiko bank dengan cara menerapkan asas- asas perkreditan yang sehat. Selain itu, dengan penerapan dan pelaksanaan KPB secara konsekuen dan konsisten, diharapkan bank dapat terhindar dari kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh pihak- pihak yyang tidak bertanggung jawab dalam pemberian kredit.[4]
Sedangkan kaitannya dengan analisis kasus tersebut dengan Undang- Undang No 8/13/PBI/2006 atas perubahan Undang- Undang No 7/3/PBI/2005 tentang batas maksimum pemberian kredit, kasus kredit macet yang saya contohkan diatas belumlah dikatakan sebagai pelanggaran larangan terhadap ketentuan BMPK tersebut. karena pada dasarnya kredit yang diberikan pada debitur tersebut tidak melampaui dari batasan yang telah dicantumkan pada undang- undang tersebut, hanya saja pada kasus kredit macet tersebut lebih mengarah pada kurang optimalnya penerapan syarat yang harus dipenuhi debitur pada bank yakni berupa adanya jaminan. Sehingga kekurangan ini yang menjadi celah yang besar sehingga terjadi kredit macet oleh debitur.


[1] Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012). Hal.411.
[2] Djoni S. Gozali dan Rachman Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal.291-292.
[3] http://kafeilmu.com/pengertian-kredit-macet/ (diakses pada tanggal 17 Mei 2016 pukul 22.08 WIB)
[4] Djoni S. Gozali dan Rachman Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal.301.